MAAF kawanku Drs Rosdi Deraman, sepatutnya aku ada sama dengan hang di Sarawak hari ini. Tapi apakan daya, kita hanya merancang, tapi Allah Maha Perancang.. Menyebabkan hari ini aku berada di Kuala Simpang Temiang Aceh. Ada tugas yang perlu ku selesaikan.
Dari pekan Kuala Simpang Temiang dua malam lepas, aku menaiki beca, tiga penumpang satu beca, menuju sebuah kampung terpencil berhampiran laut, sejauh kira-kira 3 kilometer. Singgah di sebuah warung.. Kami dikerumuni puluhan pemuda-pemuda kampung, mengucapkan selamat datang.
"Pelek!" kataku. "Kok di sini semua orang cakap bahasa Malaysia? Aku rasa macam di kampung sendiri.."
"Oh.. Hampir semua kami di sini pernah tinggal lama di Malaysia. Bila dengar ada kawan dari Malaysia ziarah sini, kami datang la.. Sambut ramai-ramai, sambut tetamu.." Jawab salah seorang dari mereka.
Begitulah hebatnya budaya orang Aceh dalam menyambut tetamu, yang lebih dekat kepada cara Islam. Aku mula meneliti, dari mana asal nama Aceh? Aku gerodek-gerodek dalam internet..
Aceh adalah nama sebuah 'Bangsa' yang mendiami ujung paling utara pulau Sumatera. Terletak antara Lautan Hindi dan Selat Melaka. Sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia antarabangsa sejak tegaknya Kerajaan Poli di Aceh Pidie. Mencapai puncak kejayaan atau zaman keemasannya pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam, masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda. Berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903, masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dalam masa 42 tahun sejak 1903 hingga1945, Aceh tetap tegak dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepun.
Mari kita lihat mengtenai metos mengenai nama Aceh ini..
Satu: Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap di sana. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majmuk.
Sepeti dikutip oleh H.M.Said catatan Thomas Braddel menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropah mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba. Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
Dua: Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya 'Kesultanan Aceh' (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahawa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
Tiga: HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya 'Tarich Aceh dan Nusantara', menyebutkan bahawa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, iaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya. Yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu. Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah.
Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
Empat: Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang Portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
Lima: Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
Enam: Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya..
'.. dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh). Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah."
Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
Tujuh: Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
Lapan: Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua puteri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi.
“Berikan ia padaku kerana kamu sudah mengandung dan aku belum.” Kata kakak kepada adiknya. Adiknya setuju. Maka kakaknya pun membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dia pun tinggal di atas balai-balai, yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari. Macam orang yang baru lahirkan anak.
Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi hairan dan mengatakan.. "Adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya, adik yang hamil, tapi kakak yang melahirkan!).
Sembilan: Mitos lainnya menceritakan..
"... pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh."
Sepuluh: Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya. Tetapi abangnya kemudian jumpa balik di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana, bahawa puteri itu aji. Ertinya ”adik”. Sejak itulah puteri itu diangkat menjadi pemimpin mereka. Dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
Sebelas: Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian.. Iaitu isteri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya 'telah lahir'. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
Duabelas: Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata.. 'a' yang artinya tidak, dan 'ceh' yang ertinya pecah. Jadi, kata 'aceh' bermakna tidak pecah.
Tigabelas: Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bahagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
Begitu antara metos dan legenda nama Aceh negeri pertama di Asia Tenggara yang terdapat bukti-bukti kedatangan awal Islam. Islam yang menjadikan rakyat Aceh berbudaya seperti di atas sehingga mendapat jolokan 'Serambi Mekah Indonesia'. Sama juga seperti 'Serambi Mekah'Malaya' di negeri Kelantan, Malaysia.
Pada saya (Ibnu Hasyim), antara ulama terakhir yang memperjuangkan kemerdekaan beragama di Indonesia adalah Daud Beureueh di bumi Aceh. Saya kurang bersetuju dengan kenyataan..
"Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno."
Mengatakan, "Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh" adalah agak keterlaluan, kerana gagasan Daud Beureueh bukan sahaja untuk pembebasan Islam dari penjajah untuk bumi Aceh sahaja, bahkan untuk pembebasan Islam di seluruh Indonesia.
Beliau menuntut hak atonomi untuk melaksanakan Islam secara syumul di Aceh yang mungkin menjadi pengkalan tempat bertolak dalam 'menasionalkan' Islam ke seluruhIndonesia. Bukan seperti 'Perjanjian Helsinki' yang tidak menyebut sepatah pun perkataan Islam dalam perjanjiannya, dan terhad untuk Aceh sahaja.
Sekian bersambung...
Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com
Kuala Simpang Temiang, Aceh.
12 Apr 11.
Lihat sebelum ini...
E-Buku IH-15: Aceh, Sebelum & Selepas Hasan Tiro'
E-Buku IH-16: 'Dari Surabaya ke Medan & Aceh' E-Buku IH-6: Perjalanan Dari Menado Ke Aceh..
No comments:
Post a Comment