GURU FEQAH...untuk ibadah ZOHIR...mudah ditemui...NAMUN...GURU MURSYID...untuk ibadah BATIN...sulit dan jarang diTEMUi...Selagi jasad masih berNYAWA...guru MURSYID..ARIF BILLAH..afdhol di CARI..kerana Nabi MUHAMMAD SAW itu...GURU kepada orang MUKMIN bagi...zohir dan BATIN..berSALASILAH seperti..ilmu FEQAH juga...menggunakan HADIS berSANAD...Namun TUAN PUNYA blog ini pun BUKAN GURU MURSYID

AMARAN : jika tuan puan TAK FAHAM semasa membaca perkara yang TERTULIS di bawah ini...tolong jangan katakan ini AJARAN SESAT..kerana setiap ILMU itu...ALLAH SWT...tetap menjadikan AHLInya kepada ILMU itu. Jika kita TAK PAHAM..ilmu sains atau matematik...jangan kita..katakan pakar sains dan matematik...itu SESAT pulak.. SIAPA yang faham...berSYUKURlah kepada Allah SWT..

CLICK at HOME…If it said this blog does not exist.

Sunday, 23 June 2013

Islam dalam Lintasan Sejarah

Islam dalam Lintasan Sejarah


Hamilton Alexander Rosskeen Gibb

BAB TAREKAT

Sebagaimana disinggung dalam bab di muka, bahwa kekakuan ilmu usul ortodoks diajarkan dalam madrasah-madrasah hingga batas tertentu dapat dibenarkan oleh perselisihan batin dengan ilmu tasawuf. Dibawah pengaruh pengakuan umum, sejumlah kecenderungan yang senantiasa hidup dalam alam pikir tasawuf berkembang cepat. Dalam waktu yang sama, maka dari suatu ketertiban yang dipercayakan kepada gabungan murid-murid yang kecil dan bebas, Sufi telah meluas hingga menjadi jaringan organisasi-organisasi tersebar di seluruh penjuru dunia Islam, dengan susunan tertib, upacara, dan perguruannya sendiri.

Para Sufi yang terdahulu dalam memburu makrifat telah membina dengan sungguh-sungguh serangkaian “tahap” dengan peraturan ketertiban moril pertapaan mereka menyamai “penyucian jalan” orang Kristen. Contoh yang menjadi ciri rangkaian tadi ialah: tobat, pantangan, penolakan, kemiskinan, kesabaran, iman, kepuasan. Sejak zaman al-Hallaj (lihat halaman 100) beberapa kelompok Sufi yang berpengaruh telah mulai menggabungkan pada ketertiban amal sehari-hari cita-cita yang diambil dari doktrin kebatinan atau doktrin Plutinius. 

Kecenderungan filsafat itu selama dua abad antara al-Hallaj dan al-Ghazali telah dikukuhkan oleh perembesan “Surat dari saudara-saudara yang suci” merupakan suatu ensiklopedi tentang filsafat alamiah Plutinius Baru yang dipopulerkan, yang berasal dalam kalangan Ismailiyah atau kalangan Syi’ah yang ekstrim. Dibawah pengaruhnya tahap-tahap penyucian yang dahulu dihubungkan dengan suatu tangga yang merupakan derajat-derajat yang naik dari “peresapan” watak manusia, watak malaikat, kekuasaan, kelihaian. Murid baru diterima harus mendaki tingkat-tingkat evolusi jagat hingga ia “kembali menjadi” Allah.

Meskipun cita-cita dan perbendaharaan kata Plutinius Baru menempati tempat penting dalam karya al-Ghazali, semua itu masih dikalahkan dengan bentuk cita-cita menurut Quran yang lama dengan istilah-istilah Islam murni. Satu abad kemudian semua unsur kebatinan yang telah masuk dalam alam pikiran Sufi telah dikerjakan dengan cermat dalam suatu sistem elektik (yang memilih pendapat terbaik dari pelbagai anggapan) oleh pengarang Arab Spanyol Ibn al-Arabi dari Mursia (m. di Damsyik 1240 M.). 

Mengingat kebanyakan dari karangannya dan pertentangan yang tidak dapat disesuaikan, tidaklah mudah untuk menyatakan dengan pasti cita-citanya. Tidak dapat disangkal bahwa sistemnya sebagai keseluruhan adalah monis dan panteis. Sambil menunjuk pada naskah-naskah dan alim ulama ortodoks, tafsir dan penjelasannya tidak mengindahkan apa yang berlawanan dengan filsafatnya. Tafsir Quran karangannya merupakan satu karya nekad dari tafsir batin.

Dalam pandangan kaum ortodoks, Ibn al-Arabi tidak lebih dari seorang yang tidak beriman, tetapi karangan-karangannya telah menarik perhatian di seluruh dunia Islam bagian Timur, khusus wilayah Persia dan Turki. Tafsiran kebatinan doktrin Islam yang menurut pernyataannya sendiri telah diwahyukan kepadanya sebagai “khatam, penutup wali-wali” merupakan saingan sistem intelektual bagi ilmu. kalam ahli ortodoks. Hal itu merupakan bahaya yang cukup besar, akan tetapi yang lebih berbahaya ialah pengaruhnya atas pemimpin-pemimpin pergerakan Sufi. 

Perguruan-perguruan mistik merupakan lingkungan murid-murid yang tertutup, dan titik berat dialihkan dari pengawasan akhlak sendiri ke pengetahuan metafisika dengan akibatnya kenaikan kerohanian kearah “manusia sempurna,” mikrokosmos Yang Esa dijelmakan kepadanya sendiri. Tidak semua ahli Sufi tertarik pada agama paham pantetis itu, dan sedikit saja paham tersebut merembes kedalam badan besar muslimin yang bertakwa menganut tarekat-tarekat besar; tetapi pintu telah dibukakan bagi penyimpangan-penyimpangan yang kemudian harus disahkan oleh pergerakan Sufi.

Salah satu sifat yang menjadi ciri pernyataan kesusasteraan ahli Sufi kemudian ialah penggunaan (menurut contoh Ibn al-Arabi) bahasa asmara dan kegairahan duniawi untuk menyatakan jamaah yang menggairahkan dengan cinta Ilahi. Bahasa yang dipakai acapkali berbentuk realistis kemanusiaan, hingga sarjana-sarjana Islam kadang-kadang menyatakan keraguan –sebagaimana madah-madah penyair Persia Hafiz– apakah si penyair menggambarkan kesenangan asmara duniawi atau Ilahi.

Perkenalan utama dari Sufi panteis terdapat dalam syair-syair mistik para Sufi Persia yang besar, khusus dari Jabal ad-Din ar-Rumi dan Jami. Berkatalah Jami:

Mata Kekasih melihat apa yang tidak berwujud, menganggap yang tidak berwujud, berwujud,
Walaupun tampak pada-Nya sifat-sifat dan kesaktian-Nya sebagai kesempurnaan tunggal dalam Inti-Nya,

Namun la ingin semuanya tadi dipertunjukkan pada-Nya dalam cermin lain,

Dan bahwa tiap-tiap sifat-Nya yang abadi dijelmakan dalam bentuk bermacam ragam.

Karena itu diciptakan oleh-Nya medan-medan kehijauan waktu dan ruang, dan kebun pemberi kehidupan, dunia,

Sehingga tiap-tiap ranting, daun, dan buah dapat membuktikan kesempurnaan-Nya yang berpanca warna.1

Di tempat lain, ia menggambarkan cita-cita yang sama dalam bahasa yang lebih berfilsafat (dinukilkan dari Ibn al-Arabi)

Zat yang Esa dibahas dengan mutlak … ialah al-Haqq, ‘Yang Nyata.’ Pada segi lain, dibahas dalam aspek jumlah besar dan keadaan banyak, apabila la mempertunjukkan Diri-Nya dalam perwujudan, la adalah Jagat Semesta yang diciptakan. Karena itu jagat ialah pernyataan lahir yang kelihatan dari al-Haqq, dan al-Haqq ialah pernyataan batin yang tidak tampak dari Jagat. Jagat sebelumnya dibeberkan keluar adalah sama dengan al-Haqq, dan al-Haqq setelah pembeberan tadi adalah sama dengan Jagat.

Perkembangan baru Sufi ditolong oleh kemajuan intelek tersebut. Apabila ada doktrin yang harus dipelajari, harus dalam cara teratur. Al-Ghazali telah menyatakan, bahwa “murid harus mempunyai syekh (dalam bahasa Persia: pir) yang memimpinnya. Barangsiapa tidak mempunyai seorang syekh sebagai penunjuk jalan akan dituntun oleh iblis dalam jalan-jalannya. Oleh karena itu, si murid harus berpegang teguh pada syekh, sebagaimana seorang buta lekat pada pemimpinnya ketika berada di pinggir sungai mempercayakan diri kepadanya, jangan menentangnya sedikit pun dan berjanji mengikutinya dengan mutlak. Si murid harus tahu bahwa keuntungan yang didapat karena kekeliruan syekhnya, apabila ia bersalah; lebih besar keuntungan yang diperoleh dari kebenarannya sendiri, apabila ia benar”.

Persatuan-persatuan yang asal mulanya bersifat lemah dan sukarela, waktu Sufi memulai menjadi pergerakan populer, tumbuhlah “persaudaraan” yang teratur dari “orang miskin” atau “pengemis” (bahasa Arab: faqir, Persia: darwisy). Orang-orang saleh dengan kepribadian luar biasa, yang masyhur dengan bakat mukjizat bahkan kesaktian untuk menciptakan sesuatu dikerumuni oleh murid-murid. Untuk menerima murid baru diadakan upacara sederhana atau diambilnya contoh dari upacara penerimaan warga baru persatuan pertukangan Syi’ah atau Qarmati. Pada upacara tersebut si murid harus berjanji akan taat. Kemudian ia hidup dalam hubungan yang rapat dengan syekh atau pirnya, hingga ia mencapai derajat yang lebih tinggi. Setelah itu ia diizinkan keluar untuk mengajar jalan (tariqah) gurunya kepada murid-murid baru di pusat lain.

Dengan demikian, tempat tinggal guru merupakan pusat masyarakat darwisy dan ribat (Persia: changah) didirikan dengan teratur dari sumbangan penganut-penganut dan penyokong-penyokong, hingga para syekh dan murid tidak perlu menjalankan pekerjaan keduniawian, tetapi dapat mencurahkan tenaganya berbakti, beribadat, dan bertafakur. Murid-murid yang telah meninggalkan ribat gurunya acap kali mendirikan ribat ranting. Dengan demikian dari satu pusat tersebar jaringan ribat-ribat meliputi daerah yang luas, “tergabung dengan ikatan kehormatan, ketaatan, dan upacara yang sama terhadap syekh atau pirnya yang asli.” 

Apabila pembangun yang asli meninggal dunia (yang tentu saja dihormati sebagai wali), maka salah seorang muridnya menggantikannya sebagai pemimpin masyarakat. Lembaga tadi menjadi suatu ikatan agama tertentu yang boleh dibandingkan dengan ikatan biarawan Kristen. Penggantinya disebut khalifah atau Wali al-Sajadah “waris sajadah (gurunya),” dalam bahasa Persia: Sajadehnisyin dipilih, atau dalam tarekat-tarekat tidak ada pantangan kawin, pengganti pemimpin adalah turun temurun dalam keluarga pembangun tarekat.

Sejak abad kedua belas dan ketika belasan tarekat-tarekat tersebut mulai meluaskan jaringannya di seluruh dunia Islam. Maksudnya ialah memimpin murid-murid dalam “jalan” atau “rintis” masih terlihat pada namanya tariqah. Tarekat itu adalah beraneka warna dalam tahap organisasinya. Ada tarekat yang dibentuk dalam susunan martabat yang naik dengan ratusan ribu pengikut dan penyokong, ada tarekat yang tetap dalam susunan yang lebih bebas daripada sufi-sufi yang bersahaja. 

Perbedaan utama terletak dalam upacara mereka dan dhikr. Dalam ciri pendirian keagamaan mereka –apakah mereka kurang atau lebih mentaati ibadat kaum ortodoks– bersifat sabar atau senang berperang, dan lain sebagainya. Keanggotaan biasanya dua jenis: suatu martabat yang lebih tinggi terdiri dari murid-murid yang ditugaskan bermacam-macam pekerjaan ibadat dalam ribat dan mengumpulkan penghasilan, dan suatu badan besar terdiri dari “anggota awam” yang tergabung pada tarekat dan yang menjalankan pekerjaan keduniawian dalam desa atau kota, yang hanya berkumpul pada kesempatan-kesempatan tertentu untuk berpikir.

Penyelenggaraan tarekat-tarekat tadi merupakan salah satu perkembangan yang amat menarik perhatian dalam sejarah Islam. Tarekat adalah pergerakan populer dalam asasnya, dalam caranya menarik anggota, dan menarik perhatian. Tarekat tadi ialah pergerakan populer pertama-tama karena pergerakan Sufi jemu akan doktrin kaku, ahli kalam, dan memudahkan jalan bagi orang yang ingin masuk Islam (karena pendapat umum bahwa “kesederhanaan” Islam dengan sendirinya merupakan daya penarik yang agak dilebih-lebihkan). 

Dalam pada itu, tambah lemahnya keyakinan tadi tentu menyebabkan akibat genting. Sebagaimana Sufi mula-mula telah memasukkan kedalam Islam beberapa unsur ibadat dan iman yang lebih tua di Asia Barat, sekarang tarekat-tarekat menunjukkan kelembutan yang luar biasa, bahkan suatu kesediaan yang membahayakan untuk berkompromi dengan kepercayaan dan kebiasaan agama lama di negeri-negeri lain serta membiarkannya, asal saja pernyataan iman mereka sudah jelas.

Akibatnya ialah perubahan yang tidak sedikit dari aspek umum Islam. Apabila hingga abad kedua belas umat Islam merupakan badan sama jenis agak kecil (kendatipun dengan keserakahannya), kemudian Islam meliputi lebih kurang sepertujuh dari semua penduduk bumi dan telah menjadi suatu badan yang dalam hal kepercayaan dan upacara ibadat menunjukkan perbedaan luas, yang tidak disembunyikan oleh penerimaan umum dari upacara dan pernyataan keyakinan yang tertentu, ataupun oleh usaha yang sama dari alim ulama.

Bentuk Islam populer berbeda di hampir semua negara Islam, dan acap kali bertentangan keras dengan sistem kaku para ulama ortodoks. Pada pihak lain, alim ulama terus menerus memberikan unsur yang mempersatukan badan yang besar tadi dengan kesabaran berusaha mengajarkan pokok-pokok dasar agama kepada kelompok-kelompok baru masuk Islam atau yang baru setengah diislamkan.

Ditegaskan lagi bahwa diantara tarekat ada perbedaan menyolok dalam hubungannya dengan kaum ortodoks. Salah satu garis pembelah yang istimewa ialah perbedaan antara tarekat-tarekat di kota-kota –yang didirikan dan dipelihara oleh unsur-unsur penduduk kota yang rapat hubungannya dengan alim ulama dan madrasah-madrasah– dan tarekat-tarekat pedesaan, yang terutama tersebar di desa-desa yang –karena kurang terbuka bagi pengaruh para ulama– lebih mudah menyeleweng dari kepercayaan ahli ortodoks yang keras itu.

Hubungannya dengan Syi’ah adalah bekas-bekas hubungannya dengan penyelewengan pada permulaannya, bahwa keturunan kerohanian wali-wali Sufi dikembalikan hingga tokoh-tokoh Syi’ah yang pertama-tama (misalnya Salman al-Farisi), kemudian Khalifah Ali ra. dan Nabi Muhammad saw. sendiri. Lebih-lebih karena dalil asasi bahwa tasawuf atau pengertian tentang pengetahuan ilmu gaib dimiliki oleh tarekat diambil langsung dari ilmu rahasia –yang dengan jalan rahasia– telah diberikan oleh Nabi saw. kepada Ali ra. 

Pada pihak lain, Syi’ah beritikad sebagai keseluruhan bermusuhan dengan tarekat-tarekat darwisy ini; karena hampir semua tarekat-tarekat terdapat diantara kaum Sunni. Keadaan sebagian besar darwisy Syi’ah yang malang dan merosot merupakan bandingan menyolok dengan kejayaan yang diperoleh alim ulama Sunni dalam mempertahankan derajat dan panji-panji kaum sunah waljamaah.

Jumlah tarekat dalam dunia Islam amat besar. Disini kami hanya dapat menyebut beberapa contoh tarekat dalam beberapa negara dan mencatat beberapa ciri mereka yang khas. Contoh yang terutama dari tarekat “kota” ialah Qadariyah, yang dinamakan menurut Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166). Beliau asal mulanya seorang ahli bahasa dan ahli hukum Hambali. Karena beliau amat digemari sebagai guru di Baghdad, khalayak ramai mendirikan sebuah ribat untuk beliau di luar pintu kota. Tulisannya pada umumnya aliran kuno, dengan kecenderungan mentafsirkan Quran secara mistik. Semangat pemujaan penganutnya kemudian memberikan kepada beliau semua macam mukjizat dan tuntutan bagi tempat yang terutama dalam martabat mistik. 

Dikatakan bahwa beliau mempunyai empat puluh sembilan anak, diantaranya sebelas putra yang meneruskan karyanya dan dengan murid-murid lain menyebarkan pelajarannya ke lain bagian Asia Barat dan Mesir. Pemimpin tarekat dan pemelihara makamnya di Baghdad masih keturunan langsung Syekh Abd al-Qadir al-Jilani. Pada akhir abad kesembilan belas terdapatlah jumlah besar dari cabang-cabang tarekat ini yang meliputi Maroko hingga Indonesia –yang hanya secara kendur hubungannya dengan lembaga pusat di Baghdad– yang tiap-tiap tahun tetap menjadi tempat ziarah.

Ya lah tuh...masa itu..memanglah belum ada PARTI POLITIK..maka hukum tubuhkan parti POLITIK sekular...belum lah ada lagi...( Penyunting )

Pada keseluruhannya tarekat Qadariyah merupakan tarekat paling banyak ragam dan progresif, yang tidak jauh pendiriannya dari paham ortodoks; tarekat tersebut unggul dalam kedermawanan, kesalehan, dan kerendahan hati, segan pada kefanatikan dalam bidang agama maupun dalam bidang politik. Tidak besar kemungkinan bahwa pembangunnya menetapkan suatu sistem keras tentang latihan kebaktian.

Sebenarnya latihan-latihan itu berbeda dalam masing-masing cabang. Suatu dhikr yang khas ialah seperti berikut, yang harus dibacakan setelah tiap-tiap salat “Kumohon ampun dari Allah Yang Mahakuasa; sekalian pujian bagi Allah; semoga Allah memberkati Sayidina Muhammad, keluarga, dan sahabatnya; tidak ada Tuhan melainkan Allah”. Masing-masing kalimat diulangi hingga seratus kali.

Kekenduran hubungan antara cabang-cabang Qadariyah menguntungkan perkembangan ranting-ranting. Beberapa diantara ranting-ranting tadi tumbuh menjadi organisasi yang merdeka. Paling penting di Asia Barat ialah tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh anak saudara al-Jilani bernama Ahmad al-Rifa’i (m. 1182 M.), juga di Irak. Tarekat ini terkenal dengan pandangannya yang lebih fanatik dan latihan-latihan mematikan hawa nafsu yang berlebih-lebihan dan latihan-latihan kemukjizatan yang luar biasa, misalnya makan gelas, berjalan di atas api, bermain dengan ular, yang telah dihubungkan dengan pengaruh pemujaan Syaman yang bersahaja selama pendudukan bangsa Mongul di Irak dalam abad ketiga belas.

Pada waktu St. Louis menyerbu Mesir dalam peperangan Salib yang ketujuh seorang murid Rifa’i bangsa Mesir, Ahmad al-Bedawi (m. 1276 M.) telah memainkan peranan penting yaitu menggerakkan penduduk melawan para penyerbu. Tarekat yang didirikannya dinamakan Bedawiyah atau Ahmadiyah merupakan tarekat pedesaan yang paling populer di Mesir. Nama tarekat itu terkenal buruk karena melampaui batas sebagai warisan kebiasaan Mesir purbakala sampai waktu ini menyertai pasar malam di sekitar makam al-Bedawi di Tantah, dalam daerah Delta. Dua tarekat lain yang populer di Mesir Bawah ialah tarekat Bayyumi dan Dasuqi, kedua-duanya cabang tarekat Bedawiyah.



Di Afrika Barat Laut pergerakan Sufi telah berkembang, menurut garis-garis yang khas dengan hubungan politik yang lebih kuat. Dalam tiga abad yang pertama dari Islam, reaksi bangsa Berber terhadap penjajahan Arab memperoleh bentuk menganut penyelewengan kaum Khawarij atau Syi’ah. Jumlah terbesar dari masyarakat tetap mempertahankan kepercayaan animis mereka yang serba bersahaja, khusus pada kesaktian sihir wali-wali mereka. Keluarga kerajaan bumiputera yang pertama yang kepentingannya melampaui kepentingan setempat, kaum Murabitin (abad kesebelas), mendirikan pergerakan keagamaan sepanjang garis-garis ortodoks, tetapi mereka dalam jangka yang tidak lama dikalahkan oleh keluarga kerajaan Berber baru, kaum al-Muwahidin (abad kedua belas). Dengan perantaraan pemimpin kerohanian al-Mahdi Ibn Tumart pergerakan al-Muwahidin mulai berhubungan dengan pergerakan Sufi. Semangat keagamaan yang kuat mendatangkan pengaruh Islam untuk pertama kalinya pada badan utama bangsa Berber.

Wakil-wakilnya dalam pergerakan tadi kebanyakan orang-orang setempat, acap kali buta huruf, yang ingin menarik perhatian kawan senegaranya pada pokok-pokok keadaban dan mistik Sufi Timur dan mengislamkannya. Sebagian besar diantara mereka buat waktu tertentu telah turut pada seorang wali termasyhur di Spanyol atau Mesir, dan setelah kembali ke desanya mulai menyebarkan beberapa rukun yang sederhana tentang kebaktian beragama dan penyerahan. Paling terkenal adalah Abu Madijan (m. pada akhir abad-kedua belas), itikadnya hanya dimuat dalam suatu sajak: “Katakanlah: Allah, dan tinggalkanlah semua yang berupa kebendaan atau bertalian dengan dia, apabila kamu ingin mencapai al-Haqq!”

Empat abad kemudian, pimpinan Sufi menggerakkan perlawanan terhadap tekanan Spanyol dan Portugis di Marokko. Bangsa Berber tetap tinggal kaum animis; dan ketekunan pada kepercayaan dan kebiasaan lama telah memberikan suatu sifat khas pada Islam Berber yaitu yang dinamakan “Maraboutism” pemujaan wali-wali yang masih hidup yang memiliki kesaktian sihir (barakah). Pergerakan Sufi di negara-negara Berber memancarkan dua sorotan. Pada satu pihak, ia memancar ke negara-negara Negro, sepanjang Niger, (dengan latar belakang yang sama tentang animisme) marabout alufah setempat menggantikan “dukun” dari pemujaan Fetis Negro. Pada pihak lain, pergerakan telah mempengaruhi Islam Timur dengan perantaraan dua tokohnya yang luar biasa.


Seorang diantaranya tidak lain Ibn al-Arabi, rasul dari paham mistik panteis. Asalnya penganut dari aliran Zahiri dengan kehidupan sederhana, ia telah diterima dalam kalangan Sufi oleh Jusuf al-Kumi, murid pribadi Abu Madijan. Juga al-Sjadhili (m. 1258 M.) telah belajar di Fez di bawah seorang murid lain dari guru tunggal. Al-Sjadhili akhirnya menetap di Iskandariah, ia dikerumuni oleh sekalangan murid. Ia tidak memiliki ribat dan tidak mempunyai bentuk tertentu bagi upacaranya. Ia melarang penganutnya meninggalkan pekerjaan dan jabatannya untuk hidup tafakur. Sedikit lebih lama dari suatu keturunan murid-muridnya mendirikan tarekat sebagaimana biasa dilakukan, yang meluas di Afrika Utara hingga masuk ke Arabia. Kota Mocha khusus menunjuk al-Sjadhili sebagai wali pelindung dan menghormatinya sebagai orang pertama yang minum kopi.

Tarekat Syadhiliyah umumnya terlampau berlebih-lebihan dalam upacaranya, dan lebih menggairahkan daripada tarekat Qadariyah, tetapi menarik perhatian khusus karena banyak cabang-cabang yang didirikan langsung dan bergandengan dengan tarekat Qadariyah. Diantaranya yang terkenal adalah tarekat Iswiyah dengan upacaranya yang termasyhur memarang dengan pedang dan tarekat Derqawa yang ortodoks dan sederhana di Maroko dan Aljazair Barat.

Propaganda Islam diantara orang Turki dan Mongol, berhubungan rapat dengan paham animis, dalam bentuk paham Syaman dan harus memperhitungkan adat-kebiasaan Turki yang telah berakar. Tarekat Turki yang paling tua, tarekat pedesaan –Yeseviyah misalnya– karena adat istiadat Turki telah memiliki sifat yang luar biasa yakni para wanita diperkenankan mengambil bagian dalam dikir tanpa kudung.

Diantara orang Turki Dinasti Osman di Anatolia dan Eropa tarekat yang paling khas baginya ialah tarekat pedesaan lain, tarekat Bektasyi. Tarekat itulah yang dikatakan cabang dari tarekat Yeseviyah telah didirikan pada akhir abad kelima belas, yang bersifat sinkretis luar biasa. Pada satu sudut berhubungan dengan Syi’ah kebatinan, dan pada lain sudut bertalian dengan kebanyakan dari kekristenan populer dan ilmu kebatinan. Para Bektasyi lebih-lebih dari tarekat lain menganggap upacara lahir Islam sebagai barang yang tidak penting yang boleh diabaikan. 

Dalam upacaranya banyaklah kesejalanan yang terang dengan upacara kekristenan. Misalnya, sebagai ganti doa umum dikir, mereka mengadakan semacam jamaah dengan saling membagi anggur, roti, dan keju; mereka juga menunaikan kebiasaan pengikraran dosa terhadap baba mereka. Tarekat Bektasyi tadi memperoleh gengsi yang besar karena bertalian dengan prajurit Turki (Yanizar). Setelah para Yanizar ditundukkan dalam tahun 1826, tarekat tersebut lambat laun merosot dan sekarang hanya terdapat di Albania. 

Tarekat kota yang utama antara orang Turki Dinasti Osman adalah tarekat Mevleviya (Maulawiyah), yang didirikan oleh penyair mistik Persia yang tersohor Jalal ad-Din ar-Rumi (m. di Konia, 1273). Dikirnya adalah luar biasa karena latihan tarian murid-murid (“darwisy menari”) Setelah Republik Turki menjadi pemerintah duniawi, maka tarekat Mevleviya mundur; sekarang hanya terdapat beberapa tekke (takiyah) saja di Halap, dan kota-kota lain di Timur Tengah.

India-lah tempat agama Islam populer menunjukkan beraneka warna tarekat, upacara, dan kepercayaan yang amat membingungkan. Selain penganut tarekat-tarekat umum dan besar (Qadariyah, Naqsyibandiyah, dan lain sebagainya) dan suatu tarekat penting yang tipenya sama dan khas buat India tarekat Cisyti (didirikan oleh Mu’in al-Din Tjisjti dari Sistan, m. di Ajmir dalam tahun 1236), masing-masing beberapa cabangnya, sejumlah besar muslimin India menggabungkan diri dengan tarekat yang tidak teratur. 

Jenisnya mencakup semua macam cabang-cabang mulai dari ranting-rantinq yang kurang baik namanya dari tarekat-tarekat yang teratur, meliputi beraneka warna tarekat yang merdeka –diantaranya tarekat Qalandari yang berkeliling (para Qalandari dalam Hikayat Seribu satu malam)– hingga pengemis atau para fakir yang mengembara dan tidak teratur, mengaku terikat dengan sanggar pemujaan salah seorang suci dan lain-lain. Jumlah jenis-jenis kepercayaan, upacara, adat istiadat, dan lain-lain yang bertalian dengan tarekat-tarekat yang tidak teratur itu barang tentu sama banyaknya dengan jumlah tarekat tersebut. 

Didalam beberapa hal, hubungannya dengan Islam hanya namanya saja. Adat kebiasaan dan kepercayaan Hindu dan Hindu purba (yang juga sedikit banyak mempengaruhi beberapa tarekat yang besar) banyak sedikit menguasai tarekat-tarekat tersebut. Latihan-latihan anggotanya telah menyebabkan –lebih dari barang lain– istilah darwisy bermakna buruk.

Selain tarekat-tarekat tadi, pengaruh Hindu juga mengambil bagian yang besar dalam kehidupan keagamaan para buta huruf dan orang muslimin pedesaan yang hanya diislamkan setengah di desa-desa yang tidak dapat dihitung jumlahnya masih mempertahankan pemujaan berhala-berhala; dewa-dewa setempat, dan pemujaan setan meninggalkan bekasnya dalam kehormatan yang acapkali ditujukan khusus oleh wanita pada Syekh Saddu, tokoh mitos. 

Tercatat beberapa peristiwa dalam zaman Mughal tentang sati (seorang janda yang turut dibakar bersama-sama pembakaran jenazah suaminya) antara orang muslimin dan beberapa masyaraka yang masih mempertahankan upacara “api suci.” Peraturan kasta telah masuk dalam Islam India. Kedudukan Islam telah digambarkan sebagai berikut oleh salah seorang tokoh Islam dari zaman India Modern, Sir Muhammad Iqbal, (seorang ahli mistik)

“Apakah kesatuan susunan Islam utuh di negeri ini? Petualang-petualang keagamaan mendirikan berjenis-jenis aliran dan tarekat, senantiasa saling bertengkar; dan masih terdapat kasta-kasta dan cabang-cabang kasta sebagai diantara orang Hindu. Sebenarnya kami telah lebih bersifat Hindu daripada orang Hindu sendiri; kami menderita dua macam sistem kasta –sistem kasta keagamaan, keserakahan, dan sistem kasta sosial– yang telah dapat kami pelajari ataupun peroleh sebagai warisan orang Hindu. Inilah salah satu jalan tenang, di mana bangsa-bangsa yang ditundukkan membalas dendam pada penjajahnya.”2

Segala usaha dari tarekat-tarekat yang memiliki asas-asas utama, kecenderungan untuk menjalankan cara-cara yang melebih-lebihi menggunakan ilmu sihir untuk menidurkan sendiri (otohipnose) dan berkompromi dengan kebiasaan animis yang telah menjadi adat tidak hanya membuka jalan bagi penipuan-penipuan, tetapi juga merosotkan ukuran moral sebagian besar masyarakat Islam. Sufi diwakili oleh darwisy yang mengembara sering kali tidak seimbang akalnya. Sufi merupakan suatu rintangan bagi kehidupan sosial dan agama. Demikian kuatnya dorongan yang diberikan, hingga perlawanan alim ulama berkurang sedikit demi sedikit, meskipun sejumlah tokoh yang luar biasa. memberikan prelawanan hebat, misalnya Ibn Taimijah (m. 1328 M.), yang telah mengutuk segala pemujaan orang suci, latihan dan ilmu ketuhanan Sufi akar dan cabangnya.


Di Asia Barat pergerakan Sufi telah mencapai puncaknya dengan pembinaan Kerajaan Dinasti Osman dalam abad keenam belas. Rupanya masing-masing desa dan tiap-tiap persatuan pertukangan dan golongan di dalam kota telah terhubung dengan salah satu tarekat. Bahkan tarekat Melamiyah3 yang menentang hukum, memiliki penganut diantara pegawai-pegawai negeri tingkat tinggi. Satu-satunya jalan bagi alim ulama untuk dapat mempertimbangkan aliran ortodoks dengan paham Sufi adalah mengubah Sufi dari dalam. Turut sertanya mereka menyebabkan kehidupan baru dan perluasan dari tarekat-tarekat yang lebih ortodoks, khusus tarekat Naqsybandiyah, (mula-mula didirikan di Asia Tengah dalam abad keempat belas, dan pada waktu itu dipropagandakan dari India) dan tarekat Anatolia Khalwatiyah, yang dipropagandakan di Mesir dan Siria dalam abad kedelapan belas oleh Syekh Mustafa al-Bakri (m. 1749) .

Penyeduhan ilmu suluk yang segar tadi meninggalkan bekas pada susunan keagamaan dan pendidikan ortodoks. Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas serangkaian sarjana ternama telah berusaha untuk menyatakan lagi pokok-pokok ilmu ketuhanan Islam dengan suatu jalan yang meninggalkan formalisme dari buku pelajaran ortodoks dan menekankan unsur-unsur kejiwaan dalam pergerakan ini yang belum mendapat perhatian sewajarnya adalah sarjana Siria Abd al-Ghani dari Nablus (1641-1731), sarjana India Ahmad Sarhindi (1563-1624), dan Sjah Wali-Allah dari Delhi (1702-1762).

Diantara orang suci Syi’ah di Persia, biarpun adanya perlawanan kuat, pengaruh cita-cita Sufi tidak dapat dilenyapkan semuanya. Pembentukan resmi keyakinan Syi’ah oleh Pemerintah Safawi yang baru dalam abad keenam belas telah menyokong penerbitan kesusasteraan pelajaran teratur dalam bahasa Persia dan Arab tentang soal-soal keagamaan Syi’ah, yang hasilnya kemudian diikhtisarkan secara sah dalam karangan-karangan Muhammad Baqir Majlisi (m. 1699). Di samping itu, perkembangan sebelumnya dari syair Sufi di Persia dan doktrin-doktrin Ibn al-Arabi terus menerus menarik perhatian, yang tidak dapat dibinasakan oleh pengutukan ulama siapa pun.

Dengan perantaraan tulisan-tulisan ahli suluk Muhammad Sadr ad-Din (Mulla Sadra, m. 1640) mereka mempengaruhi pertumbuhan paham Syi’ah baru yang tidak sesuai dengan paham resmi yang dinamakan menurut pengaturnya Syekh Ahmad dari al-Ahsa (m. 1826), tarekat Syaikhiyah. Walaupun hanya sedikit saja yang diketahui dari sifat dan doktrin-doktrin yang sebenarnya dari aliran tersebut, ada titik persamaan antara “penyelewengan” mereka dan Sufi ortodoks pada waktu yang sama ialah doktrin suatu “alam perumpamaan” (alam al-mithal), suatu alam metafisik, dimana pembatasan-pembatasan kebendaan, badaniah dari barang-barang kasar digantikan dengan barang-barang halus atau dari langit. Doktrin utama Syaikhiyah adalah kebutuhan akan saluran hubungan yang hidup dengan “imam yang tersembunyi,” dan merupakan akar yang menumbuhkankan pergerakan Babi dalam abad kesembilan belas.

Catatan kaki:

1 R.A. Nicholson. The Mayestic of Islam, hlm. 81.
2 Dikutip oleh Murray Titus; Indian Islam, hlm. 171.
3 Inilah murid-murid yang lahirnya berlagak segan pada agama, tetapi melakukan latihan agama tersendiri. Bandingkanlah al-Hujwiri, terjemahan A. Nicholson, hlm. 22-69.

Saturday, 22 June 2013

Naqsyabandiyah Khalidiyah


by luluvikar



Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. 


Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.

Adat Minangkabau

Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah menjadi rujukan bagi setiap tingkah laku masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif) dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan adat tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau te1ah mengalami fase-fase perkembangan sendiri berkenaan dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. 

Pertama adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini berlangsung sebelum abad V M. Kedua adalah fase pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad VII Masehi. 

Ketiga adalah fase Islam. Adapun raja Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560 M). Pada masa ini, terutama di seputar pesisir, dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan Aceh.

Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka tidak sedikit adat Minangkabau yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha, mendapatkan kritikan dan gugatan dari ajaran Islam. 

Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru Islamlah yang sampai sekarang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, termasuk memberi corak tehadap adat Minangkabau. 

Perpaduan antara adat dan Islam itu dibuktikan melalui sistim dan struktur adat Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah “Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Tarekat Syathariyah

Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). 

Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.

Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.

Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;

Bahagian Pertama, 

Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. 

Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). 

Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.

Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. 

Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.

Bahagian kedua,

Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. 

Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. 

Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. 

Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.

Bahagian ketiga, 

jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. 

Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. 

Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.

Tarekat Naqsyabandiyah

Menurut BJO Schrieke dan Martin Van Bruinessen, Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Christine Dobbin menyebutkan tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Lima Puluh kota. 

Azyumardi Azra menulis bahwa tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.

Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau diperkuat oleh ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah lalu mereka kemudian mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. 

Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), Syekh Muhammad Sai’d Bonjol.

Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. 

Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. 

Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau isteri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.

Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai’at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.

Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah

Wednesday, 19 June 2013

3. Latifah Sirr 4. Latifah Khafi 5. Latifah Akhfa..6. Latifah Nafs

3. Latifah Sirr

    TITIK kedudukannya pada tubuh badan adalah pada tetek kiri dengan anggaran dua jari ke arah tengah dada.Latifah Sirr juga disebut sebagai Latifah Musawi adalah dari taklukan Alam Lahut yakni Alam Bayangan Sifat-Sifat Allah Ta’ala dan merupakan suatu pusat perhentian di Alam Amar

    Sifat yang Allah Ta’ala kurniakan dengan Latifah Sirr adalah menyentuh. Latifah Sirr adalahn suatu alam di mana tersimpannya segala rahsiarahsia tentang Bayangan Sifat-Sifat Allah Ta’ala dan seharusnya menjadi rahsia bagi seseorang Salik. 

    Latifah Sirr merupakan tahap di mana seseorang Salik itu akan mengalami perbualan dengan Hadhrat Zat Yang Maha Suci di dalam hatinya di mana dia akan berinteraksi dengan limpahan cahaya dari Hadhrat Zat dan akan mendengar suara-suara Ketuhanan di dalam dirinya. 

    Alam Lahut adalah wilayah Hadhrat Nabi Musa ‘Alaihissalam yang telah dapat berkata-kata dengan Allah dan telah mendengar suaraNya. Alam Lahut merupakan tingkatan langit yang ketiga di atas ‘Arash. Cahaya Nur dan limpahan keberkatan dari Hadhrat Nabi Musa ‘Alaihissalam terlimpah pada Latifah Sirr Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Cahayanya adalah dari langit yangketiga dan warna Nurnya adalah keputihan

    Menurut Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf-Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih seseorang Salik akan mengalami Jazbah pada tahap ini iaitu penarikan dan penyatuan dengan CahayaAllah Ta’ala. Apabila dia mengalami Jazbah untuk menuju kepada Rahmat Allah maka dia digelar Majzub. Dan menurut beliau, ini merupakan tahap Sukr yakni Ruhaniah seseorang itu akan mabuk dalam melihat kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

4. Latifah Khafi

    TITIK kedudukannya pada tubuh badan adalah pada tetek kanan dengan anggaran dua jari ke arah tengah dada dan Latifah Khafi ini juga disebut sebagai Latifah ‘Isawi adalah bertakluk dengan Alam Bahut yakni Alam Sifat-Sifat Allah Ta’ala. 

    Ia juga merupakan suatu pusat perhentian di Alam Amar yang berada di atas ‘Arash Mu’allaAllah Ta’alamengurniakan sifat menghidu beserta dengan Latifah Khafi dan ianya menampilkan bunyi yang tersembunyi pada Perkataan-Perkataan Allah Subhanahu Wa Ta’ala

    Apabila sesuatu perkataan itu tertulis terdapat bunyi yang dikaitkan dengannya namun bunyi tersebut tidak akan didengari melainkan apabila perkataan itu disebutkan. Maka itulah bunyi adalah tersembunyi dan terkandung didalam huruf-huruf pada perkataan tersebut. Ia hanya menantikan masa untuk terzahir apabila bunyi huruf-huruf perkataan itu disebutkan. 

    Seseorang Salik akan memperolehi pengetahuan dan ilham dengan sentiasa membaca Al-Quran dan Asma Al- Husna. Salik juga akan menghidu wangi-wangian ketika berada dalam kehadiran Hadhrat Zat

    Kerana itulah menjadi Sunnah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk memakai wangi-wangian. Adapun pada tubuh badan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam sentiasa terbit keringat yang harum kerana Baginda Sallallahu ‘Alaihi Wasallam sentiasa berada dalam kehadiran Hadhrat Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap masa dan keadaan. 

    Di Alam Bahut ini terdapatnya rahsia-rahsia yang tersembunyi tentang Sifat-Sifat Allah Ta’ala dan ia merupakan wilayah Hadhrat ‘Isa ‘AlaihissalamAlam Bahut ini berada pada
tingkatan langit yang keempat di atas ‘Arash dan cahaya Nur serta keberkatan daripada Hadhrat Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam yang berada pada langit keempat itu terlimpah pada Latifah Khafi Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan cahaya kehitaman. 

    Seseorang Salik perlu meninggalkan Sifat Basyariyat iaitu sifat-sifat kemanusiawian. Menurut Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih bahawa seseorang yang telah mencapai Latifah Khafi, dia akan mengalami Hairat Sughra yakni ketakjuban yang kecil kerana dapat merasai Kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

5. Latifah Akhfa

    TITIK kedudukannya pada tubuh badan adalah pada tengah dada di antara Latifah Sir dan Latifah Khafi dan ianya bertakluk dengan Alam Hahut yakni Alam Zat Allah Ta’alaLatifah Akhfa juga disebut sebagai Latifah MuhammadiAlam Hahut berada pada tingkatan yang kelima di atas ‘Arash pada Alam Amar. PadaLatifah Akhfa tersembunyinya rahsia-rahsia yang lebih dalam tentang Hakikat Zat Ketuhanan Allah Ta’ala. Alam ini adalah suatu alam yang sunyi di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala

    Seseorang Salik akan merasai kehadiran Hadhrat Zat ketika melakukan sunyi diri dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kerana itulah Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallamsering bersunyi diri dengan melakukan Khalwat Saghirah di Gua Hira’. 

    Alam Hahut merupakan wilayah Hadhrat Baginda Nabi Besar Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam
 dan berada pada tingkatan langit yang kelima di atas ‘Arash. Cahaya Nur serta limpahan keberkatan dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam diAlam Hahut itu terlimpah pada Latifah Akhfanya dengan cahaya kehijauan

    Menurut Para Masyaikh Naqshbandiyah, hati Ruhaniah seseorang itu adalah biasan dari hati Ruhaniah Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang disebut Haqiqat Muhammadiyah

    Hati Ruhaniah ini menampilkan Bahrul Qudrah yakni Lautan Kekuasaan Allah Ta’ala yang merupakansumber kejadian awal sekelian makhluk. Barangsiapa yang dapat mencapai ilmu pengetahuan tentang hati, akan mampu mencapai kefahaman tentang kebenaran Haqiqat Kenabian, Nur Muhammad dan Haqiqat Muhammadiyah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Limpahan cahaya Nur Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berada di dalam lautan kekuasaan Bahrul Qudrah itu. 

    Setiap alam yang berada di Alam Amar merupakan suatu alam yang lengkap dengan
membawa ciri-ciri yang tertentu. Ada sebilangan Masyaikh yang mengaitkan latifah-latifah Alam Amar ini dengan bunyi dan sunyi yang mana mereka menyatakan bahawa Latifah Qalb, Ruh, Sir dan Khafi adalah berada pada tingkatan zikir bunyi manakala Latifah Akhfa pula berada pada tingkatan zikir sunyi. 

     Sunyi bererti menjauhkan diri dari sebarang bentuk bunyi yang bersifat zahir kemudian menjadikan hatinya sentiasa bersunyian dengan Hadhrat Zat Allah Subhanahu Wa Ta’alaAkhfa merupakan maqam Fanasehingga seseorang Salik itu mencapai erti sunyi yang hakiki di mana bunyi sekelian makhluk juga telah terlenyap.

     Apabila telah terlenyapnya segala bunyi yang tinggal hanyalah sunyi dan sunyi merupakan suatu bunyi yang tidak diketahui. Lenyapnya bunyi makhluk tidak bermakna lenyapnya bunyi dari Hadhrat Zat Yang Maha Sucibahkan akan tetap terus kedengaran bunyi-bunyian yang bertasbih memuji kesucian ZatNya. Kesemua bunyi-bunyi ini adalah bersumber dari Hadhrat Zat Yang Maha Suci dan mengambil tempat di dalam lautan kekuasaan Bahrul QudrahNya

Ada Para Masyaikh yang menyatakan bahawa, 
“Sunyi adalah bunyi dari Hadhrat Zat.” 

    Apabila seseorang Salik maju atas jalan Tariqat sehingga dia mencapai FanaMurshid akan melimpahkan ilmu yang berkaitan dengan alam-alam di Alam Amar tersebut ke dalam hati Muridnya. 

    Antara maksud yang utama adalah untuk sampai ke pusat perhentian Alam Hahut di Latifah Akhfa ini kerana ianya merupakan tempat persinggahan terakhir bagi Alam Amar dan merupakan tempat yang tertinggi bagi lautan kekuasaan Allah Ta’ala di mana Allah Ta’ala mula-mula menjadikan Nur Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam

     Kelima-lima maqam bagi Lataif yang berada di dalam dada tersebut merupakan pusat perhentian dan ianya bagi menyatakan suatu perjalanan menuju kepada penyatuan dengan Hadhrat Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi cahaya Kenabian Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kerana Hadhrat Baginda Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah satu-satunya manusia yang telah benar-benar mencapai Hadhrat Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Kemuliaan ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan ketika peristiwa Mi’raj iaitu perjalanan menaiki tingkatan-tingkatan langit menuju Kehadhrat Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

6. Latifah Nafs

    KEDUDUKANNYA ialah pada otak dan titiknya ada di bahagian dahi di antara dua kening. Takluknya adalah dengan Alam Khalaq yakni alam ciptaan yang berada di bawah ‘Arash. Ia adalah tempat penzahiran ‘Aqalmanusia yang bersifat halus pada otak yang berada di dalam tempurung kepala. 

    Perkataan Nafs lazimnya merujuk kepada diri seseorang atau jiwa pada tahap yang rendah atau keakuan diri seseorang. Sifat semulajadinya terdiri dari sifat-sifat kemanusiawian dan kehaiwanan. Perkataan Nafs juga merujuk kepada perkataan Nafas yang bererti pernafasan dan perkara ini merupakan suatu intipati dalam perkerjaan zikir kerana ia merupakan sumber tenaga dan menjadi asas sebilangan besar Tariqat

    Sebilangan Para Sufi berpendapat perkataan Nafs ini merujuk kepada peringkat kejiwaan yang merangkumi seluruh minda, emosi dan keinginan dalam diri seseorang. 

Menurut Hadhrat Syeikh Shahabuddin As-Suhrawardi Rahmatullah‘alaihNafs ada dua pengertian:

1. Nafs Syaik - Iaitu zat dan hakikat bagi sesuatu benda.

2. Nafs Natiqah - Suatu kehalusan dalam Ruhaniah manusia yang disebut Jiwa dan ianya bercahaya serta dikurniakan sifat keakuan. Dengan cahayanya tubuh badan menjadi tempat yang terdedah kepada berbagai jenis kejahatan dan kebaikan.

    Mengenali Nafs dengan segala sifatnya adalah sukar kerana ia bersifat seperti seekor sumpah-sumpah yang boleh bertukar rupa pada sebilangan keadaan dengan warna yang berbeza. 

    Mencapai Ma’rifat tentang Nafs dengan segenap ilmu pengetahuan mengenai sekelian sifatnya adalah di luar kemampuan sebarang makhluk. Adalah sukar untuk mencapai Ma’rifat tentang Nafs sepertimana sukarnya mencapai Ma’rifat tentang Tuhan. 

    Nafs diciptakan dengan unsur keakuan diri dan ia mudah dipengaruhi Syaitan kerana adanya persamaan sifat angkuh dan bongkak dalam diri Syaitan dengan sifat keakuan yang ada pada Nafs. Tujuan Syaitan menghasut Nafs melakukan kejahatan adalah untuk mengotorkan Qalb kerana apabila Nafs seseorang itu dikotori, Qalbnya juga akan turut dikotori. Hubungan Nafs dengan Qalb adalah dengan kelajuan cahaya dan kedua-duanya ibarat cermin yang memantulkan cahaya masing-masing antara satu sama lain. 

    Latifah Nafs adalah tempat perjalanan Ruhaniah melalui tingkatan nafsu-nafsu. Ada sebilangan Masyaikhyang meletakkan tiga tingkatan nafsu iaitu Nafsu AmmarahLawwamah dan Mutmainnah. Ada sebilanganMasyaikh yang meletakkan lima tingkatan nafsu iaitu Nafsu AmmarahLawwamahMutmainnah,Radhiyah dan Mardhiyah. Ada juga Para Masyaikh yang menetapkan tujuh tingkatan nafsu iaitu Nafsu AmmarahLawwamahMulhammahMutmainnahRadhiyahMardhiyah dan Kamiliyah

PenyucianLatifah Nafs ini dinamakan sebagai Tazkiyatun Nafs di mana Para Masyaikh meletakkan berbagai ujian bagimenguji tahap nafsu Para Murid. Ujian-ujian tersebut berupa Mujahadah Nafs bagi menundukkan kakuan diri dan keinginan hawa nafsu. Sebagaimana yang dinyatakan bahawa terdapat tujuh tingkatan Nafs yang perlu dilalui oleh setiap Salik seperti berikut:

1. Nafsu Ammarah - Pada tingkatan ini keakuan seseorang itu berada pada tahap kehaiwanan iaitu pada kedudukan yang rendah, tidak mengenali hakikat diri dan tidak mengenal hakikat Tuhan, boleh menjadi lebih buas dari binatang dan sentiasa mengingkari perintahperintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tahap nafsu ini berada pada tingkatan yang rendah dan perlu disucikan dengan Taubat dan Istighfar untuk menuju pada tingkatan yang lebih tinggi supaya dimuliakan oleh para Malaikat

Apabila nafsu Ammarah ini dapat dikuasai sepenuhnya, peribadi manusia itu akan menjadi lebih baik dari Para Malaikat setelah dia menjalani latihan penyucian diri di bawah asuhan seorang Murshid yang sempurna. Nafsu Ammarah sentiasa mengajak diri mengingkari Allah dan Rasul, menurut ajakan Syaitan, bergelumang dengan dosa-dosa besar dan maksiat,bertabiat dan bertingkah laku buruk, bernafsu seperti haiwan yang buas. Sentiasa memuaskan kehendak hawa nafsu dan bersikap mementingkan diri sendiri.

2. Nafsu Lawammah - Pada tingkatan ini keakuan seseorang itu berada pada tahap mula menyedarikeingkaran dan sifat buruk yang ada pada dirinya dan berasa menyesal apabila melakukan perbuatan yang buruk dan tidak baik. Dia mula untuk berasa bersalah kerana menurut keakuan dirinya semata-mata dan lebihmementingkan diri sendiri. Dia akan melakukan Taubat dan Istighfar tetapi akan kembali kepada perlakuandosa dan maksiat kepada Allah dan Rasul

Kesedarannya baru terbit tetapi tidak kukuh. Dia perlu menjalani latihan untuk menerbitkan rasa kesedaran dan insaf pada setiap masa serta menyerahkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kerana jika tidak, dia akan kembali terjerumus ke dalam kancah keburukan.

3. Nafsu Mulhammah - Pada tingkatan ini keakuan seseorang itu berada pada tahap yang lebih kerap menyesali dirinya kerana mengingkari hukum dan perintah Allah dan Rasul, kesedaran untuk insaf semakin bertambah tetapi masih belum mampu meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat. Dia belum menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Allah kerana keakuan dirinya belum Fana atau dimatikan

Walaubagaimanapun keinginan untuk kembali sepenuhnya kepada Allah terasa amat dekat. Dia akan diilhamkan dengan amalan kebaikan yang dapat mendekatan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan latihan keruhanian dan asuhan Murshid dia akan berjaya mematikan keakuannya. Kerana itu amat penting bagi Murid untuk mendapat bimbingan Murshid kerana seseorang itu tidak akan mampu mencapai penyucian Nafsu Mulhammah ini dengan bersendirian melainkan melalui seorang Murshid secara zahir dan batin. Dia perlu berzikir dengan kalimah Ismu Zat iaitu Allah Allah sebanyak-banyaknya di dalam hati sehingga terbit ketenangan.
4. Nafsu Mutmainnah - Pada tingkatan ini keakuan seseorang itu berjaya mencapai Fana. Dia berjaya mematikan keakuan dirinya dan menyerahkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila keakuan dimatikan maka akan lahirlah Bayi Maknawi dari diri insanInsan bersifat pelupa dan apabila keakuan insan itu dimatikan maka akan lahirlah daripada dirinya, dirinya yang sebenar yang diertikan oleh Hadhrat Syeikh Abdul Qadir Jailani sebagai Tiflul Ma’ani. Pada tahap ini keimanan seseorang itu menjadi semakin teguh dan kukuh. Dia perlu mendawamkan zikir kalimah Ismu Zat pada setiap latifah sehingga sempurnaSepuluh Lataif dan kekal dalam Syuhud. Ruhnya berjaya mencapai ketenangan pada Nafsu Mutmainnahdengan berkat limpahan dan asuhan Murshid.

5. Nafsu Radhiyah - Pada tingkatan ini keakuan seseorang itu telah diserahkan sepenuhnya kepada Allahdan dia redha dengan apa jua yang datang dari Allah. Tidak mementingkan apa yang telah berlaku dan apa yang akan berlaku. Dia menumpukan kesedarannya pada Kehadiran Zat Yang Suci pada setiap masa. Dia hanya menjadikan Allah sebagai maksud dan sentiasa menuntut keredhaan Allah. Dia sentiasa merasakan dirinya lemah di hadapan Allah dan sentiasa bergantung penuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia mengetepikan segala kepentingan Dunia dan Akhirat demi Allah Ta’ala semata-mata.

6. Nafsu Mardhiyah - Pada tingkatan ini keakuan seseorang itu telah tenggelam dalam lautan Syuhud. Dia menyaksikan Kebesaran Allah dengan cahaya Musyahadah dan mencapai ‘Irfan. Dia berenang di lautan Makrifat mengenali hakikat diri dan hakikat TuhannyaRuhnya telah aman damai di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan jiwanya menjadi lembut terhadap sesama makhluk dan zahirlah akhlak yang baik serta mulia dari dirinya.

7. Nafsu Kamiliyah - Pada tingkatan ini keakuan diri seseorang itu telah mencapai penyucian yang sempurna dan berjaya menjadi insan yang sempurna dengan menuruti segala Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana merupakan insan yang paling sempurna. Zahir mereka bersama manusia di dalam khalayak ramai dan menghadiri majlis mereka namun batin mereka sentiasa dalam keadaan berjaga-jaga memerhatikan limpahan faidhz dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Zikir mereka pada tingkatan ini adalah sentiasa bermuraqabah

Penyerahan mereka sempurna dan Allah menzahirkan Tanda-Tanda KekuasaanNya menerusi hamba tersebut. Dia menyerah kepada segala ketentuan Taqdir dan melaksanakan kewajibannya sebagai hamba dengan sebaik-baiknya. Ini merupakan tingkatan Para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussolatu Wassalam dan inilah merupakan tingkatan Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dan tingkatan sekelian Wali Qutub.

Hadhrat Syeikh Shahabuddin As-Suhrawardi Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan bahawa terdapatsepuluh sifat buruk yang ada pada Nafs dan ianya adalah berasal dari unsur-unsur seperti panassejuk,lembab dan kering seperti berikut:

1. Hawa
2. Nifaq
3. Riya
4. Mengaku Tuhan
5. Bangga Diri
6. Tamak
7. Haloba
8. Banyak Ketawa
9. Malas
10. Lalai

Dari sepuluh sifat yang buruk ini terbit berbagai lagi sifat-sifat yang buruk seperti hasad dengki, iri hati,bersangka buruk, putus asa dan sebagainya. 

    Ada sebilangan Masyaikh yang menganggap Nafs dan Qalb adalah sama kerana pada penghujungnya mereka mendapati Nafs Mutmainnah adalah jiwa yang tenang serta menganggap jiwa letaknya pada hati. Mereka menganggap tiada perbezaan antara kedua-duanya.

    Sebenarnya Qalb dan Nafs adalah dua perkara yang berbeza tetapi memiliki tanggungjawab yang sama iaitu untuk disucikan dari segala sesuatu selain Allah dan menumpukan ingatan terhadapNya serta menggunakan kemampuan Qalb dan Nafs untuk Ma’rifat Allah Ta’ala dan seterusnya sentiasa menghadapkannya kepada Wajah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kedua-duanya merupakan dua pusat perhentian utama yang mewakiliAlam Amar dan Alam KhalaqQalb adalah pusat perhentian bagi Alam Amar dan Nafs adalah pusat perhentian bagi Alam Khalaq. 

     Seseorang Salik yang telah sempurna menempuh Alam Amar bermakna dia telah berjaya menempuhDaerah Wilayah Sughra yakni daerah kewalian kecil dan merupakan Alam Bayangan Sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala

     Menurut Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih, apabila seseorang Salik telah sempurna menempuh Daerah Wilayah Sughra maka bermulalah Fanayang sebenarnya dan Salik akan terus menuju kepada Daerah Wilayah Kubra yakni daerah kewalian yang besar. 

    Daerah Wilayah Kubra ini berada dalam Bayangan Hadhrat Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam iaitu dalam menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ianya merupakan daerah kewalian Para Nabi dan terdapat tiga setengah daerah di dalamnya iaituDaerah UlaDaerah TsaniahDaerah Tsalisah dan setengah Daerah Qaus

    Setelah Salik sempurna menjelajah daerah-daerah ini pada Latifah Nafsnya dia akan meneruskan perjalanan Ruhaniahnya merentasi Daerah ‘Ulya iaitu daerah Para Malaikat yang tinggi kedudukannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seterusnya Salik hendaklah menyucikan Latifah Qalibiyahnya iaitu anasir yang empatterdiri dari TanahAirApi dan Angin. Pada tingkatan ini seseorang Salik tidak lagi memerlukan sebarang asbab luaran untuk mencapai KehadiranZat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.