CATATAN PERJALANAN: Medan-Banda Aceh 8
Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.
SUDAH beberapa kali saya bersembahyang di Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh Darussalam. Suatu pengalaman bersejarah pada saya, berlaku beberapa tahun lepas, iaitu semasa saya ramai-ramai menyambut kepulangan Tengku Hasan Tiro. Beliau pulang dari Sweden singgah di Malaysia dan saya turut juga bersama-sama beliau di masjid itu.
Hal ini berlaku selepas tsunami dan perjanjian Helsinki yang mententeramkan Aceh dari gejolak berdarah. Entah kenapa sekarang saya baru menulis mengenai masjid ini. Sebenarnya, Masjid Baiturrahman dibangunkan oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid yang sama namanya telah dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada tahun 1874. Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini dibangunkan kembali. Peletakan batu asas pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881.
Akiteknya adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU. Bahan bangunannya banyak yang di impor dari luar negera seperti batu pualam dari China dan besi jendela dari Belgium. Pembangunan Masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa atau China bernama Lie A Sie. Bukan saja kontraktornya seorang China, pekerjanya pun hampir sebahagian besar terdiri dari pekerja China yang memiliki ketrampilan khas.
Dikatakan kerana bangunan konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Lihat Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun 2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak mengalami kerusakan, walaupun diterjang oleh pasang air laut yang dahsyat.
Laksamana Muhammad Cheng Ho & Lonceng Besar Cakra Donya
Lonceng Besar Chakra Donya (gambar atas) & Laksamana Muhammad Cheng Ho (bawah)
Catatan sejarah paling tua dan yang pertama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah China. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks China (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh.
Pada tahun 1282, diketahui bahawa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok atau China. Di dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Muhammad Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu(Aru), Su-men-da-la (Samudra), dan Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh moden.
Kerajaan Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh pedagang atau ahli bisnes dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi China dengan negara-negara Timur Tengah, dimana pedagang-pedagang dari berbagai negara singgah dahulu atau transit sebelum melanjutkan pelayaran ke.. atau dari.. China, Timur Tengah dan India.
Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/dari China. Barang dagangan utama paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak dieksport ke China. Sebaliknya banyak barang-barang China seperti sutera, keramik, dan lain-lan. diimport ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga singgah dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan 'Lonceng Besar Cakra Donya' pada 1409 kepada raja Pasai waktu itu.
Loceng besar itu..
Loceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Loceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Cina-Aceh sejak abad ke-15. Loceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, loceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Loceng ini bertukar tangan, dari Pasai ke Aceh.
Pada awalnya loceng ini disimpan diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama 'Cakra Donya' (Cakra Dunia) ketika melawan Portugis. Maka akhirnya loceng ini pula dinamakan 'Cakra Donya' juga. Begitu sejarah loceng besar itu sampai di Banda Aceh ini.
Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai.
Di kota Samudra Pasai ini banyak tinggal komuniti Cina. Adanya "Kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Kerana Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan global. Maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana, di negara yang bersifat kosmopolitan dan multietnik waktu itu. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komuniti Cina telah berada sejak abad ke-13.
Tome Pires, penulis sejarah terkenal, pula menyebutkan bahawa kota Pasai adalah kota penting berpenduduk 20,000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam. Dikatakan, sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamor untuk selamanya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam beralih dari Pasai adalah ketika Sultan Iskandar Muda (1607-36), menjadi negara paling kuat diseluruh Nusantara.
Baginda meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dan lain-lain.Kekuasaan Aceh meliputi Barus, Tiku, Pariaman (Minangkabau), Riau, Siak, sebahagian Bangkahulu dan Semenanjung Malaya (Johor, Pahang, Perak). Tome Pires juga mengakui, Aceh merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan global. Pedagang-pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Cina, Siam, Eropah dan lain-lain.
Di kota kerajaan ini juga yakni Banda Aceh sekarang banyak dijumpai perkampungan-perkampungan dari berbagai bangsa. Seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan, berkarakter internasional dan multietnik. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan lada yang dieksport ke Cina. Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan meriam.
Kerana itu tidak semua meriam yang ada di Aceh adalah buatan luar negera, seperti meriam buatan Turki atau Portugis. Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Cina. (Lihat Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan penternakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh, juga kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Cina.
Anak-anak Aceh membuat 'Rencong Aceh'.
Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam. Periode pemerintahannya juga sangat singkat, seperti juga yang berlaku pemerintahan Khalifah Bani Umaiyah di tanah Arab, Umar Abdul Aziz. Iskandar Thani juga seperti Umar Abdul Aziz tidak melakukan politik perluasan wilayah lagi seperti mertuanya, Iskandar Muda.
Baginda lebih memusatkan kepada ilmu pengetahuan dan ajaran Islam. Pernah pada zaman baginda ini, orang Cina dilarang tinggal di wilayahnya, kerana dianggap memelihara babi. Pun begitu, di ibukota kerajaannya telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah". Mungkin berfungsi sebagai pusat hiburan. Didalam taman itu juga, telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh pekerja orang Cina. Seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniry. Ar-Raniri adalah orang Gujarat, penasihat Sultan dan ahli tasawuf, bukan anak tempatan
Peranan kaum Cina dalam bidang perdagangan di Aceh bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang bermusim yang datang dengan kapal layar. 10-12 kapal sekali datang, pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Julai. Kapal- kapal atau 'jung' Cina itu membawa beras ke Aceh, yang diimport dari Cina. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin lokasinya disekitar Peunayong atau disebut juga 'Cina Town'. Bersama dengan kapal itu juga datang para 'pengrajin' bangsa Cina seperti tukang kayu, mebel, cat dan lain-lain.
Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti wang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah 'pasar (basar) Cina' yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasa orang-orang Cina ini tidak lupa main judi. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke China dan akan datang lagi tahun depan. Barang-barang dari China ini antaranya dieksport ke India.(Lihat Kerajaan Aceh, Denys Lombard)
Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" Ertinya teror atau pengganas dunia, dari kacmata penjajah Purtugis. Kemudian loceng (gambar di atas) yang bertulis aksara Cina dan Arab (sudah tidak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang), diletakkan dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 loceng ini dipindahkan ke Muzium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang. Yakni di halaman Muzium.
Apakah rahsia loceng Cakra Donya ini? Ia telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Juga merupakan bukti dan simbol hubungan sejarah antara Cina-Aceh sejak abad ke-15. Lambang bukan perkauaman dan asobiah antara bangsa dan kaum. Kerana Islam mengajarkan, diijadikan bangsa, kaum dan puak untuk saling kenal mengenal.
Rahsia Loceng Pasca Tsunami..
Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Cina Aceh yang menjadi korban dan meninggal dunia. Sekitar 6,000 orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan ditampung di kem Metal. Di kem pengungsian Medan ini bukan hanya warga Cina saja yang ditampung untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, bahkan warga dari etnik lainpun ditampung di kem-kem pengungsi tersebut, tanpa perbedaan..
Dianggarkan sekitar 1,000 warga Cina meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong" atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. Ramai mereka mengeluh, bahawa toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu. Waktu itu sekitar 60% toko-toko di Banda Aceh milik warga Cina. Tidak semua warga Cina itu ekonominya baik atau kaya di Banda Aceh. Warga Cina miskin pun ada. Seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan Kampung Laksana.. Yang tidak jauh dari Peunayong.
Saya juga menemui seorang Cina yang berubah menjadi Islam di Peunayung selepas tsunami. "Saya masuk Islam kerana memikirkan mengapa masjid-masjid orang Islam tidak musnah dilanda tsunami seperti bangunan-bangunan sekelilingnya. Bahkan menjadi penyelamat kepada mangsa-mangsa tsunami tidak kira agama. Tentu ada kuasa yang lebih Agung dari tsunami itu sendiri. Itulah 'Allah' seperti kepercayaan orang Islam." Katanya.
Setelah lama berfikir-fikir, tiada berkesudahan, akhirnya dia pilih Islam. Sekarang tinggal di Peunayung, sesiapa saja boleh menjumpainya..
Tidak semuanya juga warga Cina dari Banda Aceh ini mengungsi ke Medan. Beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti sepasang suami isteri pemilik kedai cermin mata "Joy Optikal", dimana separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik Jay Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau mati, saya akan tetap tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).
Keprihatin komuniti Cina jelas terserlah pasca tsunami. Bantuan terus mengalir termasuk dari warga Indonesia yang bermukim di Amerika Syarikat seperti ICCA (Indonesian Chinese American Association) di Monterey Park, California, Organisasai- organisasi Cina dari Singapore, Malaysia, Taiwan dan Negara China. Kerajaan China telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan 7,000 ton itu untuk membangun 60 sekolah tiap satunya terdiri dari 15 kelas.
Juga sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun pemukiman baru, seperti yang saya sebutkan sebelum ini, Kampung Persahabatan Indonesia-China atau Kampung Jacky Chan. Saya juga melihat sebuah masjid yang dibina oleh kaum Cina dari Palembang, di Banda Aceh.
Apakah hal ini semua juga adalah hasil dari rahsia keajaiban 'Lonceng Cakra Donya Aceh?
Sekian. Wallahu 'aklam dan assalamu alaikum..
Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com
Peunayong, Cinatown.
Banda Aceh
4 Mei 11.
Lihat keseluruhan catatan perjalanan ini..
E-Buku IH-39: Catatan Perjalanan Medan-Banda Aceh
No comments:
Post a Comment